A. Pengertian Penyuluhan Agama
Secara umum pengertian penyuluh agama menurut Keputusan Bersama Menteri Agama RI dan Kepala Badan Kepegawaian Negara nomor : 574 tahun 1999 dan nomor : 178 tahun 1999 tentang jabatan fungsional penyuluh agama dan angka kreditnya, menyebutkan bahwa Penyuluh Agama adalah Pegawai Negeri Sipil yang diberi tugas, tanggung jawab, wewenang untuk melakukan kegiatan bimbingan dan penyuluhan agama dan pembangunan melalui bahasa agama.
Dengan demikian Penyuluh Agama adalah para juru penerang penyampai pesan bagi masyarakat mengenai prinsip-prinsip dan etika nilai keberagamaan yang baik. Hasil akhir yang ingin dicapai dari penyuluh agama, pada hakekatnya ialah terwujudnya kehidupan masyarakat yang memiliki pemahaman mengenai agamanya secara memadai yang ditunjukan melalui pengamalannya yang penuh komitmen dan konsistensi seraya disertai wawasan multikultur untuk mewujudkan tatanan kehidupan yang harmonis dan saling menghargai satu sama lain.
Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi maka tantangan tugas para penyuluh agama Islam semakin berat, karena dalam kenyataan kehidupan di tataran masyarakat mengalami perubahan pola hidup yang menonjol.
Dalam situasi demikian, dalam menuju keberhasilan kegiatan penyuluhan tersebut, maka perlu sekali keberadaan penyuluh agama yang memiliki kemampuan dan kecakapan yang memadai sehingga mampu memutuskan menentukan sebuah proses kegiatan bimbingan dan penyuluhan dapat berjalan sistematis, berhasil guna, berdaya guna dalam upaya pencapaian tujuan yang diinginkan.
B. Hakikat Penyuluh Agama
Paling tidak ada dua pandangan mengenai hakikat penyuluh agama, pertama: kaitan dengan hakikat keharusan (tuntutan) dan kedua: Hakikat hak (kebutuhan) asasi.
Pertama, mengenai kaitan dengan hakikat keharusan (tuntutan). Bahwa, tiap-tiap agama pada dasarnya memiliki kesamaan watak dalam dua hal pokok. Pertama, klaim-klaim keabadian ajaran, nilai, dan petunjuknya. Kedua, perintah moral yang secara logis merupakan konsekuensi dari poko yang pertama. Meski demikian, agama baru akan “nyata” setelah ia “dibenturkan” pada kenyataan-kenyatan hidup di dunia yang serba dinamik. Ini berarti, disamping di satu pihak agama melakukan rekayasa terhadap kehidupan manusia, namun juga pesan-pesan keagamaan —persepsi keagamaan mengenai tata alam manusia dan moralitas kemanusiaan— perlu “disesuaikan” dengan proposisi-proposisi duniawi, agar selaras dengan kenyataan dan problematika kehidupan manusia, sehingga ia (klaim keabadian dan perintah-perintah moral) tidak kehilangan vitalitasnya di dalam keseluruhan ‘denyut nadi’ kehidupan manusia.
Bila penyesuaian telah melahirkan kristal-kristal pola anut sikap, pikir dan perilaku para penganutnya, maka bergeraklah nuansa “pandangan dunia” ini menjadi “ideologi” yang dari manapun sumber nilainya, senantiasa memuat cita-cita, orientasi, dan pedoman hidup penganutnya. Cita-cita, merupakan dambaan akan kondisi ideal sebagaimana agama (komunitas agama) terimajinasikan; Orientasi, merupakan suatu kristalisasi psikis yang mengendap pekat dalamsanubari para penganutnya; dan Pedoman Hidup, merupakan sesuatu yang lebih praktis, yang mengatur umat untuk berperikehidupan sesuai dengan cita-cita terdamba.
Pada poros ideologi ini, eksistensi umat beragama teruji secara intelektual: mampuhkah mereka merumuskan “suatu tata” intelektual yang memuat peta kognitif mengenai ideal kemasyarakatan yang mereka dambakan? Ke arah mana pula masyarakat yang bersangkutan diorientasikan? Bila pada poros ini umat beragama berhasil mengupayakan “tata intelektual” termaksud, maka satu langkah strategis telah berhasil mereka penuhi dalam rangka mengemban tugas-tugas sosial yang dituntut oleh agama yang mereka anut.
Dengan kesadaran seperti itu maka agama, bukan hanya doktrin eksatologis semata. Melainkan ia merupakan suatu “gagasan gerak” atau “gagasan kerja” yang layak saji –bukan barang mati–, sebagaimana agama dianugerahkan oleh Yang Maha Kuasa kepada masyarakat manusian untuk diamalkan, maka keberadaan agama tidak hanya sekedar ideologi yang abstrak, tetapi dapat dinyatakan dalam kehidupan dinamik.
Untuk lebih mempertegas pandangan di atas, dapat dilihat dalam Islam, keyakinan akan “keesaan Ilahi” (tauhid) di dalamnya merupakan keyakinan paling sentral, dan menuntut perwujudan ajaran-ajarannya di dunia ini. Tanpa adanya upaya konkretisasi, tauhid hanyalah konsep kosong belaka. Oleh karena itu, konsisten dengan alur pemikiran di atas, “pandangan dunia” dan “ideologi Islam” adalah elaborasi doktrin tauhid itu sendiri, yang seharusnya diejawantahkan di dalam kehidupan manusia seluruhnya.
Pada sisi yang lain, kedua, kaitan dengan hak (kebutuhan) asasi. Dalam hal ini dimaklumi bahwa kehidupan beragama merupakan hak asasi setiap manusia. Bahkan hidup beragama adalah hak asasi yang paling asasi. Oleh karena itu, arah kebijakan pembangunan bidang agama yang dilakukan Pemerintah adalah memberikan jaminan akan peningkatan kualitas keimanan dan ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa bagi masyarakat, agar tercapai kualitas manusia dan masyarakat yang maju dan mandiri. Melalui pembangunan bidang agama yang terpadu dengan bidang lainnya, diharapkan dapat terwujud manusia Indonesia yang berkualitas, sejahtera baik materil dan spiritual. Dengan demikian pembangunan sektor agama merupakan bagian yang tak terpisahkan dari upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia Indonesia.
Mayoritas penduduk Indonesia memeluk agama Islam, jumlahnya diatas 90 % dari seluruih penduduk nusantara ini. Namun dari 90 % tersebut yang benar-benar memahami, menghayati dan mengamalkan syariat Islam mungkin tidak lebih dari separonya. Sehingga pemahaman masyarakat terhadap nilai–nilai dan ajaran Islam masih perlu ditingkatkan. Dan ini menjadi tanggungjawab serta kewajiban bersama bagi setiap muslim, ulama dan tokoh agama, serta pemerintah.
Allah berfirman dalam QS An Nahl 125: Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.
Pemerintah memiliki kewajiban untuk melaksanakan seruan di atas. Lebih khusus Departemen Agama menjadi salah satu tombak untuk melaksanakannya. Seedangkan Penyuluh Agama adalah ujung tombak yang berperan penting dalam upaya membimbing masyarakat memahami ajaran agama, dan mengamalkannya secara berkualitas.
Berdasarkan penjelasan diatas, Penyuluh Agama Desa Santur yaitu Ibu Rahmadona, S, Pdi
sumber : Penyuluh Agama dan sid#santur